CERPEN TIME! - Oh, Adam...
Kenapa
hidup itu nggak lurus aja seperti jalan tol? Aku berfikir bahwa hidupku sudah
cukup bahagia hanya dengan Moses, Mama dan Papa tanpa adanya adikku, Adam.
Kehadirannya membuat semua kasih sayangku teralihkan untuknya, pada saat
dirinya hadir ke dunia, aku masih membutuhkan kasih sayang dari Mama dan Papa
yang lebih. Tepat saat kehadirannya pula semua berubah, fokus kasih sayang
mereka teralihkan padanya. Terkutuklah Adam kecil yang lucu.
Celakannya,
sekarang Adam bersekolah di tempat yang sama denganku, saat ini aku duduk di kelas dua belas, sebagai
senior yang cukup di segani, punya geng yang terkuat di sekolah, dan celakannya
juga banyak sekali cewek yang mengejarku. Tapi semua
pusat perhatian jatuh pada Adam saat ia memasuki sekolah ini tiga bulan lalu sebagai anak kelas sepuluh.
pusat perhatian jatuh pada Adam saat ia memasuki sekolah ini tiga bulan lalu sebagai anak kelas sepuluh.
“Ses,
adik lo lewat, tuh!” ujar temanku. Dan pandanganku mengikuti arah tunjukannya, mendapati Adam sedang melambaikan
tangannya ke arahku dan berjalan menuju arah tempatku dan teman-temanku sedang berkumpul.
“Hai,
Kak.” Sapanya kepadaku.
“Cabut,
gengs!” seruku pada teman-temanku
yang lain.
Aku
sama sekali tidak mempunyai hubungan baik dengannya, rasa benci ini sudah
terpupuk dari lima
belas tahun yang lalu, sesaat setelah ia lahir ke dunia. Sudah cukup aku berpura-pura baik terhadapnya di
depan Mama dan Papa atau keluarga yang lain, dan tidak untuk di depan
teman-temanku. Tidak akan ku biarkan ia merebut teman-temanku dan tidak akan ku
biarkan ia merebut lagi apa yang ada pada diriku sekarang. Sudah cukup semua
kasih sayang keluarga, tidak lagi dengan keberadaan teman-temanku yang
direbutnya.
***
“Ma!
Moses pulang!” seruku ketika memasuki rumah.
“Sama
Adam nggak, Ses?” tanya Mama
langsung. Ya, memang selalu Adam, hanya Adam, prioritas pertama ada pada Adam.
“Nggak,
Ma.” Jawabku.
“Kok
nggak bareng? Mama sudah masak makanan kesukan dia.” Tanya mama lagi. Dan aku
sudah semakin tidak kuat mendengar kata-kata selanjutnya hanya memilih diam
lalu beranjak menuju kamar, tanpa menjawab apa-apa.
“Kenapa
harus lo? Mama nggak pernah tuh,
masakin makanan kesukaan gue dengan sengaja. Oh, sepertinya memang Mama tidak
pernah tahu makanan kesukaan gue.” Teriakku setengah frustasi.
Entahlah
apa yang harus aku lakukan, terus berpura-pura sebagai anak kuat, anak tegar,
anak yang selalu baik di depan keluarga atau membuka semua topeng ini dan
mengakui bahwa Moses yang kuat, Moses yang tegar, Moses yang mandiri dan nggak
pernah minta macam-macam dari orang tua adalah Moses yang sebenarnya rapuh,
haus akan kasih sayang dan membenci adiknya, Adam dengan setengah mati.
“Kak,
makan, yuk!” seru Adam yang ternyata sudah sampai di rumah.
“Habisi
saja makanan kesukaan lo! Itu bukan makanan kesukaan gue, dan nggak akan pernah
menjadi kesukaan gue.” Jawbku. Ini pertama kalinya aku membentak Adam di rumah,
biasanya aku hanya diam, lalu ikut memakan makanan kesukaannya dengan topeng
bahagia.
“Lo
kenapa, kak?” tanyanya lagi. Aku hanya diam tak menjawab, beralih menyalakan music player dari kamar dengan suara
keras agar ucapannya tidak terdengar lagi, lalu memilih untuk tidur.
***
“Ses,
hari ini anak SMA 1 ngajakin ribut.” Ujar temanku. Kami sedang duduk santai di
tempat tongkrongan kami.
Aku
menyesap puntung rokokku yang sudah pendek, lalu membuangnya ke tanah. “Sudah,
tahu, sebentar lagi juga mereka sampai lokasi, kita cabut sekarang!” perintahku
pada yang lainnya.
Kami
semua berangkat menuju lokasi tantangan, dan beberapa dari kami sudah siap
membawa perlengakapan tawuran seperti batu, rantai, dan lain sebagainya. Tapi
langkahku terhenti ketika di tengah perjalanan sang sumber masalah dalam
hidupku muncul. Adam.
“Ses,
adik lo!!” seru salah satu temanku.
“Lo
lanjut ke lokasi, gue urus sumber masalah ini dulu!” perintahku lagi kepada
yang lain.
“Kak,
lo gila, ya? kalau Mama dan Papa tahu lo pasti habis, kak!” tukasnya.
“Mama
dan yang lain nggak akan tahu kalu lo nggak ngadu! Jadi sekarang mending lo
diam, dan pulang!” sahutku dengan geram. Aku kembali meneruskan perjalanan dan
terkutuklah Adam dewasa yang sok ikut campur yang ternyata mengikutiku.
Aku
berusaha mengencangkan laju motorku dan mengambil jalan yang susah agar ia tidak mengikutiku
lagi. Ternyata ia tidak mengerti juga maksudku yang mengusirnya. Jadi masa bodo
dengan keadaannya nanti jika sudah memasuki area tawuran nanti. Ia sendiri yang
mengambil resiko untuk mengikuti tawuran ini, tanpa bantuan, dan tanpa
pendamping.
“Woi!
Keluarin alat!” seru gue ketika sudah memasuki arena tawuran, celakalah Adam
yang ternyata sudah jatuh beberapa meter di depan motorku.
“Ses!
Adik lo!” ujar salah salah satu temanku. Ya aku memang tahu itu adikku. Adikku
yang terkapar sudah tak berdaya, adikku yang sangat ku benci, adikku yang ku
harap tidak pernah ada di dunia.
“Bantu
gue bawa kerumah sakit, yang lain tetap lawan!” seru gue lagi dan lagi.
***
“Kamu
ini kenapa, Ses? Kenapa bisa tawuran segala?” tanya Mama sambil memarahiku.
“Kamu
harus bayar semuanya, Ses!” ujar Papa dengan sangat lantang dan tegas, itu
tanda bahwa Papa sudah sangat marah.
Aku
lelah menjadi pusat kesalahan, aku lelah menjadi terus yang tersakiti. Aku
memilih pergi pada saat itu juga, pulang kerumah. Entah mengapa ternyata lelaki
juga bisa menangis.
Air mataku tumpah, rasa benci, kesal, marah, semua terluap menjadi sebuah
tangisan.
Aku
memasuki kamar Adam dan mengacak-ngacak semua isinya sampai ku temukan sebuah
buku yang ternyata berisi catatan kehidupannya. Itu membuatku semakin memandang
dirinya lemah dan rendah.
“Lo
tahu, Dam? Lo itu banci! Lo ngerebut semua dari gue, dan sekarang apa? Gue udah
berusaha bilang jangan ikut
campur urusan gue, dan lo ngotot. Jadinya apa? Celaka! Lemah, lo tahu? Lo
lemah! Lo baru kepukul oleh rantai, Dam! Bukan kepukul kenyataan!” teriaku
memarahi Adam. Lebih tepatnya foto Adam yang terpajang di dinding kamarnya.
“Dan
lo lihat? Lo laki, Dam! Dan lo menulis diary
layaknya anak perempuan!” kataku lagi seraya membukanya kemudian membaca lembar
demi lembar.
“Gila,
gila, gila.” Aku membacanya dan kembali meneteskan air mata semakin deras. Aku
salah. Iya, aku salah.
“Kak Moses, gue tahu gue adik yang nggak berguna, gue tahu kalau lo
nggak pernah menginginkan kehadiran gue ke dunia, gue tahu lo sangat menyayangi
Mama dan Papa, gue juga tahu lo berat untuk membagi kasih sayang mereka untuk
gue. Tapi lo salah, Kak. Lo salah kalau lo mikir semua kasih sayang mereka ditumpahkan seluruhnya ke gue, lo salah kalau lo berkata di keluarga kita nggak
pernah ada yang memandang lo! Lo harus tahu bahwa lo, lo adalah Moses. Moses yang dari
dahulu di banggakan Mama, Papa, keluarga besar dan tentunya gue. Lo harus tahu
juga bahwa selama ini gue yang iri, gue yang iri kenapa gue nggak bisa jadi
seperti lo, lo yang kuat, tegar, dan mandiri. Gue yakin suatu saat lo bisa baca
tulisan gue, dan gue harap dengan ini lo bisa ngerti. Gue sayang lo, Kak.
Walaupun sejak lima belas tahun yang lalu, lo sudah membenci gue, tapi nggak
buat gue. Buat gue lo tetap abang yang hebat, abang yang kuat, dan abang yang
tegar, lo bisa menyembunyikan semua rasa benci itu bertahun-tahun dari Mama
Papa dan keluarga besar. Maafkan gue, Kak. Gue nggak pernah meminta untuk lahir
ke dunia, tetapi Tuhan memilih gue hadir di hidup lo, gue hanya ingin yang
terbaik untuk lo. Gue berencana akan pergi, entah pergi ke mana, gue bisa
pikirkan nanti, gue bisa buat banyak alasan agar Mama dan Papa
percaya, dan dengan itu juga gue harap lo bisa mendapatkan kembali kasih sayang Mama dan Papa.
Gue sayang lo, Kak Moses, kakak gue yang kuat, tegar, mandiri.”
“Kenapa lo nggak
bilang, Dam? Lo bego!” umpatku.
Aku memutuskan untuk
kembali menuju rumah sakit di mana Adam di rawat, lima belas tahun menyimpan
rasa benci terhadap orang yang nggak mengerti. Lima belas tahun dendam ini
semakin mengakar, dan sekarang aku sadar. Aku yang egois, aku yang nggak pernah
mengerti hidup ini, aku yang tak pernah bersyukur dan aku yang nggak pernah mau
mengalah.
“Ma, Pa.” Kataku ketika
bertemu Mama dan Papa. Mata mereka semuanya merah, dan bercucuran air mata.
“Telat, Ses. Suadah
terlambat kamu datang sekarang. Adam sudah nggak ada.” Ujar Papa.
“Ginjal Adam rusak
terkena pukulan rantai, dan pukulan rantai itu masih berbekas pada kulit
tubuhnya.” Kali ini Mama yang angkat bicara.
Oh Tuhan! Ternyata
memang hidup nggak akan pernah bisa mulus seperti jalan tol.
***
Hari
itu juga, Adam di makamkan, dan hari itu juga, aku menceritakan semuanya
terhadap kedua orang tuaku, segala rasa amarah, benci, kesal, dendam yang ku
pendam selama lima belas tahun ini, ku bongkar semuanya. Aku merendahkan diriku
sebagai Moses yang lemah, Moses yang hancur lebur, Moses yang penuh dusta dan
Moses yang hanya nol besar.
Mama
dan Papa mengerti, dan mereka juga meminta maaf kalau mereka tidak menunjukan kasih sayang mereka
terhadapku, yang terlihat hanya selalu Adam, tetapi dari lubuk hati mereka,
mereka juga mencintaiku.
“Terimakasih
Adam, seorang
adik yang tak pernah mendapat tempat di hati sang kakak yang egois, dan penuh kepalsuan. Terimakasih
atas cinta lo kepada gue sebagai adik, dan terkahir terimakasih atas
pengorbanan lo yang rela pergi.” Ucapku dalam hati, seiring mendoakan Adam yang
sudah tak dapat ku jumpai lagi.
Jakarta,
17 September 2015.
Abigail
Lovelya.
Halo!! Sebenernya ini cerpen yang gue buat untuk membantu teman, jadi dia di suruh sama gurunya membuat cerpen, tapi karena menurut gue cerpennya dia nggak banget, akhirnya gue dengan senang hati membantunya.
Sudah lama juga berniat memposting ini ke dalam blog, ya, tapi baru sempat sekarang. Semoga cerpen ini dapat diterima dengan baik dan kurang lebihnya gue minta maaf karena sejujurnya gue nggak pinter bikin cerpen, hahaha.
Sampai bertemu di postingan selanjutnya, bye-bye. :)
Comments
Post a Comment